Surga di bawah telapak kaki ibu
“Al-Jannatu tahta aqdamil ummahat – Surga itu di telapak kaki ibu”, awalnya tak pernah terbayang seperti apa dan kenapa surga mesti di telapak kaki ibu? Padahal ayah adalah pemegang tanggung jawab dalam keluarga. Saat kita mulai ingat akan segala sesuatu di dunia ini, mungkin tidak banyak mereka yang menyadari hadits pendek namun padat makna itu.
Bahkan sering kita mendengar begitu banyak anak yang tega berbuat aniaya terhadap ibunya. Sering kita mendengar dan menyaksikan berita yang dimuat baik itu di media cetak ataupun elektronik. Sehingga kadang ironis nya tidak sedikit pula anak yang tega menghabisi nyawa ibunya tanpa alasan yang jelas.
Sungguh miris hati ini rasanya jika kita mendegar hal seperti itu. Di zaman yang semakin maju dengan dukungan teknologi canggih pun kita masih disuguhkan dengan berbagai isu dan berita seperti itu. Tak habis pikir kenapa mereka berbuat tega seperti itu.
Tapi kadang hati ini seperti tidak pernah tersentuh ketika mendengar kabar berita tersebut. Hati ini masih sering membuat ibu menangis, bahkan mungkin secara tidak sadar masih sering lupa akan apa yang pernah ibu berikan. Padahal hati ibu, kasih sayang nya tidak akan pernah luntur meski hujan badai menerjang. Tidak akan pernah sirna ditelan zaman.
Ibu masih terngiang suaramu meski saat ini jarak memisahkan aku dari mu. Sentuhan lembut jari mu di masa kanak-kanakku masih terasa menemani hari-hari ku. Bahkan semua itu menjadi inspirasi dan motifasi bagiku untuk menjalani hari-hari dalam hidupku yang penuh dengan liku-liku. Saat aku jauh, lidah mu tidak pernah kering dari doa untuk kebaikan anak mu. Semua kau lakukan tanpa menuntut pamrih dan balas jasa anak mu. Tapi apa, apa yang anak mu berikan kepada mu? Semua belum sepadan dengan apa yang telah kau berikan pada ku.
Setiap detik dan pergantian hari, kau asuh anak mu. Kau sapih dua tahun lamanya, tapi kau tidak pernah meminta imbalan dari anak mu. Bahkan sebaliknya terkadang anak mu tidak bisa membalas budi baik mu. Sebaliknya bayak sekali sikap ku melukai hatimu, tapi kau tetap memaafkan sikap anak mu.
Sungguh, aku bukan lah anak yang baik yang bisa memberikan balas budi untuk mu. Waktu yang mengantarkan ku pada kehidupan nyata telah banyak menorehkan prasasti tak terilai dari mu. Tapi aku sering lupa, lupa akan apa yang telah engkau berikan kepada ku. Maaf kan anak mu yang telah lalai terhadap semua jasamu.
Mungkin kelahiran anak pertama ku dua hari yang lalu telah memberikan gambaran betapa beratnya perjuangan mu untuk melahirkan ku. Karena aku menyaksikan sendiri bertapa beratnya isteriku melahirkan anak ku. Perjuangan antara hidup dan mati, saat detik-detik melahirkan telah menyadarkan ku betapa luasnya kasih sayang mu yang tidak akan pernah sanggup bagi ku untuk membalasnya.
Terimakasih ibu atas semua jasamu, aku berharap kehadiran cucu mu akan memberikan motifasi bagi ku untuk lebih meningkatkan rasa hormatku kepadamu. Dan aku berhaaarap kehadiran cucu mu bisa menjadi obat segala luka yang pernah tergores akibat sikap ku. Mungkin aku baru sadar bahwa memang surga itu ditelapak kaki ibu.
Terimakasih ibu…